Kolaborasi yang Tak Selesai di Tenda Pramuka
Oleh: Syafaat
Di antara segala peringatan yang kerap datang tiap tahun, Hari Pramuka selalu punya aroma tanah basah. Mungkin karena ia tak lahir dari rapat-rapat di gedung dingin ber-AC, tapi dari lapangan, dari bau seragam cokelat yang terkena keringat, dari api unggun yang memantulkan wajah-wajah muda penuh janji.
Tema tahun ini—Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa—bagi sebagian orang mungkin hanya kalimat yang dibaca sekilas, seperti slogan di spanduk yang digantungkan di pinggir jalan. Tapi bagi mereka yang pernah berjanji di hadapan api dan bendera, kata-kata itu seperti doa yang harus dibayar lunas oleh hidup. Kolaborasi, dalam bahasa agama, adalah persekutuan amal. Ada hadits yang mengatakan bahwa Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. Dan bukankah itu yang sejak dulu dikerjakan oleh Pramuka? Menolong bukan karena disuruh, tapi karena itu watak. Menolong bukan karena ada kamera, tapi karena itu bagian dari napas.
Saya pernah bertemu seorang mantan Pramuka di sebuah pondok kecil di pesisir. Rambutnya memutih, matanya redup, tapi sikapnya masih tegak seperti waktu muda. Katanya, yang paling ia ingat dari masa Pramuka bukanlah lomba-lomba atau perkemahan, tapi kalimat dalam Tri Satya: Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat. Ia mengucapkannya sambil menatap jauh ke kiblat, seolah kalimat itu bukan sekadar janji organisasi, tapi syahadat kedua yang ia ikrarkan di dunia.
Logo tahun ini menampilkan angka 64 yang dibentuk pita, tunas kelapa, dan fleur de lys. Saya melihatnya seperti doa yang sedang mengalir: tidak kaku, tidak terputus, bergerak dari bumi menuju langit. Dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyebut bahwa siapa saja yang berpegang teguh pada tali Allah, ia tidak akan pernah tersesat. Barangkali, pita yang mengalir itu adalah tali—tali yang tak sekadar mengikat antaranggota, tapi juga mengikat manusia kepada Tuhannya. Ketahanan bangsa, kata tema itu. Sebagian orang mengartikan ketahanan sebagai kekuatan fisik atau ekonomi. Tapi saya percaya, ketahanan sejati ada di hati yang tahu arah. Bangsa yang hatinya busuk, meski gedungnya menjulang, akan runtuh dalam sekali guncang. Pramuka, dalam sisi yang religius, sedang membangun benteng yang tak terlihat: benteng kejujuran, benteng kesetiaan, benteng keikhlasan.
Kadang saya bertanya-tanya, apakah generasi yang datang nanti akan mengerti makna Tri Satya dan Dasa Darma seperti para pendahulu? Apakah mereka akan melihatnya sebagai janji yang sakral atau hanya tugas hafalan sebelum lomba? Tapi mungkin kekhawatiran ini tak perlu dibesarkan. Karena seperti api unggun, meski bara tampak redup, ada percikan kecil yang siap menyala kembali jika angin datang dari arah yang tepat. Dan bukankah angin itu sudah bergerak? Ia datang dari setiap anak yang berani berkata “demi kehormatanku” sambil menatap lurus ke masa depan. Ia datang dari setiap kakak pembina yang melatih dengan sabar tanpa berharap tanda jasa. Ia datang dari setiap kerja sama kecil di lapangan yang tak pernah masuk berita. Kolaborasi yang menembus langit bukanlah rapat-rapat megah atau pidato panjang di panggung. Ia adalah tangan yang membantu mendirikan tenda di tengah hujan, bahu yang memanggul beras untuk dapur umum, atau mata yang tak lelah mengawasi kawan yang hampir pingsan di perjalanan. Dan semua itu, jika dilakukan dengan niat lurus, akan tercatat sebagai amal yang kelak menolong di hari ketika manusia mencari naungan. Mungkin itulah yang dimaksud ketahanan bangsa—bukan sekadar kuat di darat, laut, atau udara, tapi kuat di hadapan Tuhan.
Malam ini, ketika saya menulis, hujan turun perlahan di luar jendela. Saya teringat suara api unggun di perkemahan terakhir yang saya hadiri—suara kayu yang retak, bau asap yang melekat di pakaian berhari-hari. Ada sesuatu yang sederhana namun tak tergantikan di sana: kebersamaan yang tidak diikat oleh kepentingan, tapi oleh rasa bahwa kita saling membutuhkan. Barangkali, di situlah inti dari semua perayaan ini—tema, logo, janji, dan segala simbol hanyalah cara untuk mengingatkan kita pada hal yang tak pernah boleh hilang: bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri.
Ketahanan bangsa, jika dilihat dari ketinggian doa, bukanlah perkara siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling setia menjaga yang lemah. Dan dalam hal itu, Pramuka telah lama memberi contoh—bahwa mengikat simpul di tali bukan hanya keterampilan teknis, tapi pelajaran tentang bagaimana kita mengikat hati satu sama lain. Jika kelak bangsa ini terguncang, saya membayangkan akan ada barisan yang berdiri paling depan, mengenakan seragam cokelat, dengan mata yang jernih, tangan yang siap bekerja, dan hati yang tahu arah. Barisan itu akan melangkah, bukan karena diperintah, tapi karena sudah berjanji pada Tuhan, pada negara, dan pada sesama manusia.
Dan mungkin, pada hari itu, kita akan mengerti bahwa kolaborasi yang menembus langit tidak pernah benar-benar berakhir—ia hanya berganti wajah, dari satu generasi ke generasi berikutnya, sambil membawa cahaya yang sama.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar