Catatan Seorang Sarjana Desa di Rumah Sunyi Bernama ISNU
Oleh: Syafaat
Langit belum sepenuhnya terang ketika saya berangkat dari rumah. Hanya ada kabut tipis, suara ayam bersahutan, dan azan Subuh yang datang dari surau kecil di seberang sawah. Seperti biasa, saya memulai hari sebagai pegawai negeri di kantor Kementerian Agama, mengurus hal-hal yang tak selalu bisa dijelaskan dengan cepat: bimbingan masyarakat Islam, data majelis taklim, kadang surat keterangan nikah yang terlambat dimasukkan.
Hidup saya, kalau boleh jujur, berjalan seperti jam tua yang tetap berdetakbpelan, pasti, dan kadang dilupakan. Tapi beberapa bulan lalu, sebuah pesan datang. Teman lama, yang pernah bersama saya di jalanan demonstrasi dan diskusi kampus, mengajak saya bergabung ke dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. ISNU. Sebuah nama yang dulu hanya saya dengar sekilas di ujung obrolan. Saya pikir, apa pentingnya lagi bergabung ke organisasi? Saya ini bukan siapa-siapa. Hanya seorang sarjana dari desa, pegawai biasa, bukan pemikir besar, bukan pula pembicara seminar. Tapi ajakan itu terus berputar di kepala saya, seperti suara kecil yang lama-lama jadi gema. Dan akhirnya saya ikut.
Saya tak pernah membayangkan, bahwa ruang-ruang ISNU yang kecil, kadang berdebu, kadang tanpa spanduk, akan menjadi tempat paling sunyi namun paling dalam yang pernah saya masuki. Tak ada panggung megah, tak ada pencitraan digital. Yang ada hanya orang-orang biasa—tapi dengan hati yang tak biasa. Mereka datang bukan untuk mencari nama. Mereka datang karena tahu, hidup terlalu berharga jika hanya dipakai untuk mengejar insentif. Di ISNU, saya bertemu kembali dengan wajah-wajah lama: seorang dosen yang mengajar sambil menjaga ayahnya yang stroke, seorang peneliti muda yang lebih sering menyumbang bensin ketimbang bicara, seorang guru pesantren yang menulis makalah pakai kertas bekas karena laptopnya rusak bertahun-tahun lalu. Tak ada yang “teraliki”—tidak bisa diukur, tidak bisa dikejar, dan barangkali, memang tidak bisa dijelaskan. Tapi saya tahu, saya berada di tempat yang benar.
Mereka tidak bicara dengan suara keras. Mereka bicara dengan waktu. Dengan hadir. Dengan terus kembali meski tak pernah disebut dalam laporan. Di ISNU, saya belajar bahwa menjadi sarjana tidak selalu berarti berbicara di forum akademik. Kadang ia berarti membuat jadwal pelatihan di balai desa. Kadang hanya mendampingi anak muda yang ingin lanjut kuliah tapi bingung isi formulir. Saya sempat merasa minder. Saya ini hanya pegawai kecil, hidup di desa, tak punya gelar doktor atau pengalaman luar negeri. Tapi di ISNU, semua itu seperti larut. Tak ada yang tanya siapa kamu. Yang ditanya adalah: apa yang bisa kamu beri? Dan dari situlah saya sadar: ISNU bukan organisasi. Ia lebih mirip jalan sunyi. Jalan di mana ilmu bukan untuk dipamerkan, tapi untuk disedekahkan. Jalan di mana amal tak perlu panggung. Jalan di mana doa tidak dibisikkan ke langit, tapi disisipkan ke kerja.
Saya pernah membaca, “Orang besar tak selalu terdengar. Tapi mereka selalu meninggalkan jejak.” Dan ISNU dipenuhi oleh orang-orang seperti itu. Saya tahu, organisasi ini tidak sempurna. Kadang rapat molor. Kadang notulensi hilang. Kadang hanya lima orang yang datang dari lima puluh yang diundang. Tapi anehnya, semangat itu tetap ada. Karena mereka yang datang, datang bukan untuk hadir, tapi untuk memberi. Seorang teman pernah berkata pada saya di akhir pertemuan, “Kita ini hanya menanam. Mungkin bukan kita yang memetik. Tapi kalau tidak ada yang menanam, siapa yang akan menumbuhkan?” Dan saya terdiam lama sekali setelahnya.
Kini, setiap kali saya membuka buku-buku tua di rak, saya tak lagi membacanya hanya untuk diri sendiri. Saya membacanya dengan niat baru: supaya saya bisa berbagi. Kadang lewat pelatihan sederhana. Kadang lewat ceramah kecil di masjid kampung. Kadang hanya lewat tulisan di grup WhatsApp. Saya percaya, bahwa ilmu, jika tidak dipakai untuk melayani, akan menjadi beban. Dan ISNU memberi saya tempat untuk meletakkan beban itu—dengan ikhlas. Saya juga percaya, bahwa di masa depan, ketika anak-anak kita bertanya apa yang kita lakukan selama hidup, kita tidak harus menjawab dengan CV. Cukup dengan cerita-cerita kecil: bahwa kita pernah hadir di rapat sunyi, pernah menulis modul sederhana, pernah membuat lomba baca puisi Islami di sekolah menengah yang hampir ditutup.
Dan itu cukup. Di ISNU, saya menemukan kembali kepercayaan saya pada makna kecil. Pada pertemuan tanpa tanda tangan. Pada kesepakatan tanpa materai. Pada zikir yang dibisikkan pelan saat menyusun program kerja. Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan dibaca. Tapi saya tahu, saya harus menulisnya. Sebagai saksi. Bahwa di sebuah tempat bernama ISNU, di sebuah kabupaten kecil yang tak masuk radar media nasional, ada sekelompok sarjana yang diam-diam sedang berusaha menjaga cahaya.
Cahaya itu tak teraliki, tapi dari cahaya itu, kita bisa menulis ulang arti menjadi manusia.
“Barangkali, mereka yang paling sunyi justru sedang bekerja paling dalam. Bukan untuk dunia. Tapi untuk masa depan yang lebih teduh.”
Sangat menginspirasi pak haji untuk saya pribadi yang harus terus belajar menulis dan berpikir lepas dalam menyuarakan hati namun tetap santun dan tidak menyakiti, terima kasih pak haji, semoga terus semangat memberikan contoh menulis
BalasHapus