Langsung ke konten utama

Idul Fitri, Perayaan Keagamaan yang Ramah Anak

 Idul Fitri, Perayaan Keagamaan yang Ramah Anak

Oleh: Dr, Emi Hidayati,S.Pd,M.Si ( Dosen, Ketua YPM NU Kabupaten Banyuwangi dan ketua Bid. Pemberdayaan Perempuan Keluarga dan Anak MUI Kab. Banyuwangi )

Idul Fitri selalu menjadi puncak kegembiraan umat Muslim setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Perayaan ini tidak hanya sarat dengan makna spiritual, tetapi juga kental dengan nuansa sosial dan budaya. Sejak gema takbir, tahmid, tasbih dan tahlil dikumandangkan. Berlangsungnya tradisi saling memaafkan, kehadiran hidangan lebaran warisan leluhur, hingga berkumpulnya keluarga besar—semua menciptakan atmosfer yang khas dan hangat. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu kelompok yang kerap dilupakan dalam perayaan ini yaitu anak-anak. Sering kali, kehadiran mereka hanya menjadi pelengkap suasana—dipakaikan baju baru, diajak keliling rumah keluarga, diberi angpau, tetapi tidak benar-benar dilibatkan dalam makna dan proses perayaan itu sendiri. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Jean Piaget dalam teori tahapan perkembangan kognitifnya, anak-anak pada usia sekolah dasar sudah mampu memahami konsep moral dan nilai sosial melalui pengalaman konkret, termasuk perayaan keagamaan seperti Idul Fitri (Piaget, 1952). Sayangnya, khutbah Idul Fitri dan tausiyah-tausiyah nya nyaris selalu diarahkan untuk orang dewasa, dengan tema-tema moralitas, ekonomi, atau politik yang tidak menyentuh kehidupan anak-anak. 


 Idul Fitri adalah momen yang sangat potensial untuk mendekatkan anak-anak pada nilai-nilai luhur Islam yaitu kasih sayang, pengampunan, kepedulian, serta pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga dan sesama. Dalam khazanah Islam sendiri, Nabi Muhammad SAW sangat memperhatikan kondisi psikologis dan spiritual anak. Riwayat menunjukkan bahwa beliau sering menyapa anak-anak, mendengarkan mereka, bahkan dalam peristiwa-peristiwa penting keagamaan (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari). Hal ini menunjukkan bahwa perayaan keagamaan seharusnya menjadi ruang yang inklusif bagi seluruh anggota umat, termasuk anak-anak. Merayakan Idul Fitri dengan pendekatan ramah anak berarti menciptakan ruang yang aman, hangat, dan menyenangkan bagi anak-anak. Tidak cukup hanya dengan memberi mereka hadiah, melainkan juga memperhatikan perasaan, kebutuhan, dan suara mereka. Banyak anak merasa tidak nyaman ketika dipaksa bersalaman dengan orang dewasa yang tidak mereka kenal, atau dicecar pertanyaan-pertanyaan yang terlalu personal seperti “kapan disunat?”, “ranking berapa?”, atau “sudah hafal juz 30 belum?”. Ini dapat memicu kecemasan sosial sebagaimana dijelaskan oleh Erik Erikson dalam tahap perkembangan psikososial, di mana anak-anak sangat sensitif terhadap penerimaan sosial dan penghargaan diri (Erikson, 1963).

Seringkali terjadi kekerasan terhadap anak justru di momen Idul Fitri. Bentuknya bisa berupa kekerasan verbal, fisik, hingga perlakuan diskriminatif yang membuat anak merasa tersisih. Dalam laporan tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan terhadap anak di ranah keluarga dan lembaga keagamaan masih cukup tinggi, bahkan meningkat saat momentum liburan atau hari besar. Maka, perayaan Idul Fitri seharusnya menjadi ruang korektif untuk memutus siklus tersebut dan meneguhkan komitmen perlindungan anak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, anak-anak kerap diposisikan sebagai pihak yang pasif, yang hanya mengikuti instruksi dan agenda yang telah disusun oleh orang dewasa. Pandangan ini perlu ditinjau ulang. Dalam kajian sosiologi anak, seperti yang dikemukakan oleh Allison James, Chris Jenks, dan Alan Prout, anak bukan hanya obyek yang dibentuk, tetapi juga social actors yang memiliki agensi dalam membentuk makna dan relasi sosial mereka (James et al., 1998). Melibatkan anak-anak dalam persiapan lebaran—seperti membuat ketupat, membersihkan rumah, menyusun daftar kunjungan, hingga memilih menu makanan—adalah bentuk pengakuan terhadap kapasitas mereka. Anak-anak akan merasa dihargai jika diberikan kesempatan untuk mengambil peran, bukan sekadar menjadi “pengikut” dalam tradisi orang dewasa. Ini juga sejalan dengan konsep individualisation of childhood dari Brannen dan O’Brien, yang menekankan pentingnya pengakuan atas identitas dan suara anak dalam kehidupan keluarga dan sosial (Brannen & O’Brien, 1995).

Secara normatif, pendekatan ini didukung kuat oleh Konvensi Hak Anak PBB (1989), khususnya Pasal 12 yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk menyampaikan pandangan mereka dalam semua hal yang menyangkut mereka, dan pandangan tersebut harus dipertimbangkan dengan serius sesuai usia dan kematangannya. Namun, seperti yang dikritisi oleh Patrick Mizen, implementasi kebijakan anak seringkali terjebak dalam logika ekonomi dan kontrol sosial orang dewasa, alih-alih menjawab kebutuhan autentik anak (Mizen, 2004). Idul Fitri bisa menjadi arena transformatif untuk menempatkan anak-anak sebagai subjek yang aktif. Praktik seperti berdiskusi bersama anak tentang makna perayaan, membiarkan mereka merancang agenda kunjungan keluarga, atau memberi mereka ruang untuk mengekspresikan perasaan melalui cara yang mereka sukai—menggambar, bermain peran, atau membuat video singkat—bisa menjadi langkah sederhana yang berdampak besar.

Dengan pendekatan seperti ini, Idul Fitri tidak lagi menjadi perayaan yang hanya diwariskan, tetapi juga dipilih dan dihayati bersama anak-anak sebagai bagian dari proses pembentukan identitas spiritual dan sosial mereka. Karena sejatinya, kembali ke fitrah bukan hanya soal hubungan vertikal kepada Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal kepada sesama manusia—termasuk menghormati anak sebagai manusia utuh dengan hak dan martabatnya. Perayaan yang ramah anak adalah perayaan yang berpihak pada masa depan: generasi yang tumbuh dalam cinta, penghargaan, dan pengalaman spiritual yang menyenangkan.

Selamat merayakan idul fitri, apresiasi setinggi-tingginya patut disampaikan kepada setiap keluarga, orang tua, pemuka agama, masyarakat di kampug- kampung halaman, dan semua pihak yang dengan penuh kesadaran telah menjadikan Idul Fitri sebagai momentum pendidikan yang bermakna bagi anak-anak. Melalui keteladanan, kasih sayang, dan bimbingan yang bijaksana, mereka bersedia mengantar anak-anak menuju gerbang kesalehan individu dan sosial—menumbuhkan nilai syukur, kebersamaan, serta kepedulian terhadap sesama. Idul Fitri yang ramah anak bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan komitmen kita dalam membangun generasi yang berakhlak mulia. Perayaan yang ramah anak adalah perayaan yang berpihak pada masa depan generasi yang tumbuh dalam cinta, penghargaan, dan pengalaman spiritual yang menyenangkan. Dan siap menjadi penerus yang bertanggung jawab. Semoga semangat ini terus hidup dan menjadi warisan berharga bagi masa depan. 

Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan 

batin!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...