*Jalur Cinta yang Tak Bisa Terulang*
Sore itu selepas kerja aku membawva cinta dalam kardus kecil. Ia mengeong pelan, seperti tahu bahwa ia akan diserahkan kepada tangan lain yang lebih lembut daripada tanganku: tangan anak perempuanku, belahan jiwaku, amanah terbesar dalam hidupku.
Dia, anakku, kini berada di semester terakhir kuliahnya. Usianya telah menginjak dewasa, tapi dalam benakku, ia masih bocah kecil yang dulu sering memelukku saat takut petir, tidak dapat tidur sebelum kupeluk erat-erat, Kulitnya bersih seperti lembaran pagi pertama di musim semi. Wajahnya membawa cahaya, dan setiap kali ia tersenyum, dunia seperti menunduk hormat. Sebagai ayah, aku tahu: kelak ia akan pergi. Bukan karena ia tidak cinta, tapi karena cinta yang lain akan menjemputnya, dan aku harus rela berdiri di tepi peron kehidupannya, melambaikan tangan kepada kereta yang tak lagi kutumpangi.
Tapi malam ini aku masih punya alasan untuk mendekap sebentar waktu bersamanya. Kucing kecil ini, kesayangannya, harus aku antarkan. Dan cinta seorang ayah, tak pernah bertanya "kenapa" atau "kenapa harus aku". Ia hanya berjalan, bahkan ketika jalannya gerimis, bahkan ketika tubuh lelah dan jarak jauh. Aku tak bisa membawa kucing ini naik kereta, kereta tidak menerima binatang piaraan. Maka aku memilih motor. Setia seperti rindu, motor tua itu kupacu menembus jalanan yang mula-mula hanya dipeluk gerimis, namun perlahan dibalut hujan. Gerimis itu seperti kesedihan kecil yang datang tanpa alasan. Tapi hujan, ia seperti air mata yang telah menumpuk dan tak sanggup ditahan. Dan malam itu, aku diguyur oleh keduanya oleh hujan dan oleh kenangan.
Aku membayangkan makan malam di alun-alun. Duduk berdua, membicarakan hal-hal remeh yang tidak akan pernah aku anggap remeh. Tapi hujan membuat semuanya harus ditunda. Begitulah hidup: ia tak pernah selesai sesuai rencana, tapi tetap harus dijalani. Aku tiba di tempat anakku pukul setengah delapan malam. Hanya ada waktu satu setengah jam sebelum kereta membawaku kembali ke Banyuwangi. Dan dalam waktu yang sempit itu, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menatap wajah cantik anakku, dan mendengar suaranya seperti doa yang dibacakan pelan-pelan. Kami menuju stasiun. Ia mengantarku, berjalan di sampingku, seperti dulu ia berjalan menggandeng tanganku saat belum tahu arah mata angin. Tapi kini ia tahu ke mana ia melangkah. Dan aku hanya bisa berharap, langkahnya selalu baik, selalu disertai langit yang cerah.
Stasiun ramai tapi sunyi. Orang-orang saling menunggu, saling meninggalkan. Di sana, kereta ekonomi jurusan Malang–Banyuwangi telah bersiap. Dari manapun penumpang naik, harga tiketnya sama. Seperti hidup, yang kadang tidak adil dalam logikanya, tapi adil dalam ketetapannya. Aku teringat: bahkan jika aku naik dari Jember, biayanya sama dengan yang naik dari Malang. Begitulah hidup memperlakukan kita, kadang kita merasa terlambat datang, tapi tetap harus membayar utuh. Dan kita tidak punya pilihan selain menerima, atau turun dari perjalanan.
Kereta itu indah. Ia punya jalur sendiri. Tak ada yang bisa melintasi selain dirinya sendiri .Jika ada yang menghalangi, ia akan melindas. Tak peduli siapa. Karena kereta diciptakan bukan untuk berhenti demi hal-hal kecil. Ia berjalan teguh, dengan tujuan yang pasti. Dan siapa pun yang mencoba menghentikannya, akan ditinggal, atau terluka. Dan aku berpikir, begitulah cinta seorang ayah. Ia berjalan di jalurnya sendiri. Ia tak bisa dihentikan oleh lelah, oleh jarak, bahkan oleh perpisahan. Cinta itu tidak menuntut dibalas. Ia hanya ingin anaknya bahagia, meski harus melambaikan tangan di balik kaca gerbong.
Aku naik ke kereta, sementara anakku berdiri di luar. Hujan masih menetes dari sayap stasiun, seakan langit pun ikut bersedih karena waktu kami terlalu singkat. Tapi aku tersenyum, dan ia tersenyum.
"Jaga kucingnya baik-baik," kataku.
"Selalu," jawabnya.
Kereta pun melaju. Aku tak menoleh lagi. Karena aku tahu, kenangan tak butuh ditatap dua kali untuk hidup selamanya. Ia akan tinggal di rel hati, berjalan pelan, dan suatu hari, akan berhenti di stasiun rindu yang sama, ketika semua telah tua, dan cinta telah mengendap jadi doa yang tak pernah habis.
Dan malam itu, aku tahu satu hal: seorang ayah tidak pernah benar-benar pulang. Ia hanya berpindah, dari rumah ke dalam hati anaknya.
Stasiun Jember, 14-07-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar