Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Bukan Umroh di Borobudur

Bukan Umroh di Borobudur

 *Bukan Umroh di Borobudur*

Oleh : Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Kita hidup di zaman ketika kata-kata tak lagi diperlakukan sebagai jembatan menuju makna, melainkan sekadar alat promosi dan sensasi. Maka ketika kata “umrah” muncul dalam iklan wisata Borobudur, kita pun terdiam—bukan karena tak paham, tapi karena terlalu paham bahwa sesuatu yang suci sedang diusik tanpa permisi. 


Ada kata-kata yang tak lahir dari rahim bahasa. Ia turun, seperti hujan pertama di awal musim, dan kita hanya bisa berdiri terpaku memandanginya. Tak tahu apakah kita sedang basah oleh makna, atau oleh ketidaktahuan kita sendiri. Salah satu kata itu adalah “umrah.”

Saya tidak tahu siapa pertama kali menulis kata itu diucapkan dalam video yang sepertinya dibuat oleh AI, promosi wisata ke beberapa tempat dan salah satunya Borobudur. Tapi saya yakin, dia tidak sedang berdoa ketika menuliskan promt, Ia menulis seperti seorang juru kampanye menulis nama calon di bendera plastik, tanpa pernah menanyakan siapa yang akan mewakili makna di belakang nama itu.

“Umrah,” seperti halnya kata “shalat,” “karma,” atau “nirwana,” bukan kata yang bisa dikelola oleh agensi iklan. Kata-kata seperti itu tidak bisa dipanggil sembarangan. Ia akan datang bila hati kita bening dan langkah kita genting. Bila tidak, ia hanya akan duduk di halaman video online, gemetar dan malu, seperti anak kecil yang tersesat di kota besar.

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirim tangkapan layar: ada program promosi wisata bertajuk “Umrah di Borobudur.” Ia bertanya pelan, “Menurutmu, ini niat baik atau salah paham?”

Saya membaca pelan-pelan. Saya tidak langsung menjawab. Karena kalau saya menjawab terlalu cepat, saya takut hanya akan mengulang apa yang sudah terlalu sering kita katakan—bahwa negeri ini semakin sering mencampur-aduk ibadah dan pemasaran.

Tapi bukan itu persoalan yang paling dalam. Persoalannya adalah: kita semakin kehilangan rasa hormat pada kata. Dan bila kita kehilangan rasa hormat pada kata, maka kita kehilangan jembatan menuju makna, beberapa hari sebelumnya juga beredar beberapa narasi tentang pembanding Ka'bah dan Borobudur, putaran tawaf dari kiri ke kanan serta sebuah aktivitas di Borobudur yang memutar seperti jarum jam.

Umrah bukan perjalanan wisata. Ia bukan sekadar kunjungan ke tanah suci sambil mengambil foto berlatar Ka’bah. Ia adalah ibadah. Ia adalah perintah. Ia adalah niat yang dijahit dengan kain ihram, lalu dilipat di antara thawaf, sai, dan tahallul. Umrah tidak lahir dari brosur. Ia lahir dari ketundukan.

Dan ketundukan tidak bisa dipasang di baliho, saya jadi ingat seorang teman lama, seorang arsitek yang kini lebih suka mengerjakan proyek-proyek kecil di desa. Ia pernah berkata, “Kita ini terlalu suka menamakan sesuatu tanpa mengenalnya lebih dulu.” Ia menunjuk taman kecil yang baru diresmikan di sebuah kabupaten. Namanya: Taman Surga Mahameru. “Surga tidak bisa dipasang paving,” katanya.

Begitu juga umrah. Ia tidak bisa dilangsungkan di halaman candi. Tidak di Candi Prambanan, tidak di Borobudur, tidak di kaki gunung mana pun, seindah apa pun tempatnya. Bahkan di Madinah pun, umrah tidak bisa dilaksanakan. Karena umrah hanya sah bila dilakukan di Mekah. Bukan karena bangunan Ka’bah-nya semata, tapi karena perintahnya demikian. Karena sejarahnya demikian. Karena Nabi demikian.

Mereka yang umrah tahu bahwa ibadah itu hanya butuh waktu satu hari, atau bahkan lebih singkat. Tapi mereka tinggal lebih lama di tanah Hijaz bukan untuk memperpanjang ibadahnya, melainkan untuk menyambung ziarah. Ziarah yang bukan sekadar “wisata religi,” tapi jejak kasih pada Rasul. Maka tidak ada orang Islam yang berkata: “Saya umrah di Madinah.” Itu kalimat yang cacat sejak dalam niat.

Tapi kini, kita dengar kalimat seperti itu berseliweran. Bukan dari jamaah awam, tapi dari para penyusun naskah promosi wisata. Dari biro iklan. Dari presentasi investor, yang mungkin juga ada niatan lain yang tidak baik bagi negeri ini

“Umrah di Borobudur.” saya kira ini bukan soal keliru istilah. Ini lebih dalam dari itu. Ini soal cara kita meminjam kata tanpa izin, lalu memakainya untuk kepentingan yang bahkan tidak kita mengerti. Ini seperti memakai jubah duka untuk menyambut pesta. Kata “umrah” dipinjam dari langit, lalu dijual di trotoar. Dan tidak ada yang menggugat, karena kita terbiasa hidup dalam kegaduhan yang membuat sunyi jadi asing.

Setiap agama punya kamus rahasianya sendiri. Kata-kata di dalamnya tidak disusun oleh akademisi atau ahli periklanan. Mereka lahir dari laku hidup, dari tirakat, dari malam-malam panjang yang diselimuti zikir dan air mata. Tiracchāna dalam Buddhisme bukan kata umpatan. Ia adalah cermin batin. “Kafir” dalam Islam bukan pelabelan sosial. Ia adalah posisi spiritual yang tak bisa ditempel di punggung sembarang orang.

Kata-kata seperti itu berjalan pelan. Mereka tidak suka tergesa-gesa. Tidak suka panggung. Mereka lebih suka duduk di tengah keheningan, seperti biksu tua di ujung vihara. Tapi kini, kita paksa mereka naik pentas, berdandan dengan lampu neon, dan berdialog dalam skrip yang bahkan bukan milik mereka.

Saya membayangkan satu malam hening di Borobudur. Saat para biksu sudah kembali ke ruang meditasi mereka, dan para turis tertidur di hotel-hotel ber-AC. Hanya ada batu-batu tua yang menyimpan cerita ribuan tahun. Saya percaya: pada malam seperti itu, kata-kata kembali ke asalnya. Mereka berjalan sendiri, mencari rumah mereka. Kadang menangis. Kadang diam saja.

Kita mungkin belum sampai ke sana. Kita masih berada di zaman yang memaksa setiap kata punya harga. Zaman yang mengira bahwa iman bisa ditarik dengan promo early bird. Tapi saya percaya, akan datang satu malam, ketika seseorang duduk sendirian di depan stupa. Ia tidak membawa kamera. Tidak membawa slogan. Ia hanya duduk. Dan diam.

Dan mungkin, dalam diam seperti itu, kita bisa mulai menyebut nama-nama suci dengan lebih hati-hati. Lebih pelan. Seperti menyebut nama ibu. Karena pada akhirnya, menghormati kata adalah menghormati hidup. Kata “umrah” bukan hanya kata. Ia adalah langkah. Ia adalah jawaban. Ia adalah pulang. Dan tidak ada yang ingin pulang ke rumah yang sudah dijadikan tempat karaoke.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog