Pages

6/13/2025

Seblang Bakungan: Tarian Leluhur di Temaram Obor

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam temaram api obor, di malam yang menggigilkan kulit dan membasahi napas dengan aroma tanah dan dupa, masyarakat Osing Bakungan kembali memanggil arwah leluhur. Mereka tak sekadar merapal masa silam, tapi menjahit benang waktu yang diwariskan sejak 1639 menjadi tubuh peradaban hari ini. Di Sanggar Seblang, Kamis malam (12/6/2025), ritual adat Seblang Bakungan kembali digelar—sebuah pertunjukan sakral yang bukan hanya ritual, tapi napas panjang kebudayaan yang terus hidup. 


Ribuan pasang mata berkumpul. Dari bocah hingga pelancong mancanegara, semua terpukau. Di jalan yang mengular menuju sanggar, tumpeng-tumpeng berjejer seperti sesaji semesta. Warga saling menyapa dalam harmoni, menyatu dalam lantunan doa magrib dan hajat yang dinaikkan di langit masjid. Setelahnya, mereka berjalan bersama, mengarak api oncor yang mengibas malam, melingkari desa dalam prosesi ider bumi, seakan hendak mengikat batas alam dengan kesetiaan budaya.

Di bawah suluh-suluh bambu yang bergetar, mereka menghamparkan tikar, menyantap pecel pithik—hidangan sakral warisan leluhur—dengan cara paling tulus: bersama.

Lalu tiba momen puncak, ketika Isni, perempuan 53 tahun yang tubuhnya telah dibuka oleh waktu dan jiwa leluhur, memasuki dunia lain. Tubuhnya terhuyung dalam trance, lalu menari dalam irama gending yang menyayat sunyi. Mata orang-orang menahan napas, menyaksikan tarian yang bukan sekadar gerak tubuh, tapi gerak roh, gerak sejarah, gerak kesetiaan pada warisan yang tak bisa dibeli dan tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.

“Tradisi ini sangat menarik,” kata David, seorang pelancong dari Selandia Baru, matanya masih menyisakan keheranan yang puitis. “Sebelumnya saya melihat Gandrung Sewu, penuh warna dan ramai. Tapi malam ini, saya seperti melihat tarian yang berbicara langsung pada langit dan bumi.”

Seblang memang ada dua. Di Bakungan, ia ditarikan oleh perempuan yang telah matang usia dan pengalaman, digelar di bulan Dzulhijah. Sedang di Olehsari, tarian ini dipercayakan kepada dara muda, usai Idul Fitri. Dua wajah, satu jiwa. Dua zaman, satu akar.

Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, turut hadir. Dalam sorot matanya ada kebanggaan dan harapan. Ia berkata, “Menjaga tradisi bukan semata menarik wisatawan. Ini tentang gotong royong, tentang menjaga batang tubuh kebudayaan agar tetap tumbuh subur di tengah modernitas.”

Kehadiran Seblang malam itu tak hanya menarik warga dan wisatawan, tapi juga ilmuwan. Sumarsam, Kaplan Professor of Music dari Wesleyan University Amerika Serikat, duduk khidmat di antara warga. Ia adalah profesor gamelan yang telah menetap di Amerika selama 53 tahun, tapi malam itu, di antara bunyi kendang dan lengking suling, wajahnya seperti kembali ke tanah ibu.

“Saya sudah mendengar Mamaca Lontar Yusuf, menyaksikan Janger, dan malam ini, Seblang. Banyuwangi adalah kepingan mozaik budaya yang sangat utuh. Tak heran jika tanah ini menjadi permata dari timur Jawa,” ujarnya dengan mata berkaca.

Seblang Bakungan bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah doa yang ditarikan, ingatan yang dihidupkan, dan jati diri yang disematkan dalam tubuh sebuah bangsa yang terus mencari dirinya sendiri.

Dan di malam itu, ketika obor perlahan padam dan langkah-langkah meninggalkan sanggar, satu hal terasa abadi: budaya bukan milik masa lalu, ia adalah detak jantung yang harus terus dijaga, agar kita tak pernah kehilangan arah di tengah gempuran zaman. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar