BANYUWANGI (Warta Blambangan) Pada Sabtu, 14 Juni 2025 pukul 00.00 WIB, berlangsung sebuah kegiatan yang sarat makna di Aula Pondok Pesantren Adz Dzikra, Banyuwangi. Kegiatan tersebut berupa perayaan ulang tahun ke-57 bagi KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H.—figur sentral dalam pengembangan pendidikan pesantren serta pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi.
Dalam suasana yang diatur dengan kesengajaan dramatis—pencahayaan dipadamkan, santri duduk dalam formasi hening—KH. Achmad Wahyudi diundang keluar dari kediaman untuk menghadiri forum yang tidak ia ketahui sebelumnya. Suasana berubah secara tiba-tiba saat para santri melantunkan sholawat dan lagu “Mabruk Alfa Mabruk”, diiringi penyerahan simbolis kue ulang tahun bertuliskan angka 57. Kejutan ini menjadi wujud penghargaan kolektif terhadap kontribusi dan keteladanan beliau.
Peristiwa ini tidak dapat hanya direduksi sebagai perayaan seremonial. Dalam pendekatan sosiologis dan pedagogis, momen tersebut berfungsi sebagai ritual simbolik yang memperkuat nilai-nilai spiritual, kedisiplinan moral, serta hubungan emosional trans-generasional antara guru dan murid. Hal ini tercermin dari testimoni yang diberikan oleh alumni dari berbagai negara, yang menyebut KH. Achmad Wahyudi bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga murabbi, yakni pembimbing ruhani yang menanamkan nilai kehidupan secara integral.
Salah satu pernyataan dari alumni yang saat ini menempuh pendidikan di Timur Tengah menyebutkan:
“Abi bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi menanamkan nilai. Bagi kami, Abi adalah teladan, tempat kami kembali, dan alasan kami tetap ingin disebut santri, bukan alumni.”
Testimoni semacam ini mengindikasikan keberhasilan transmisi nilai jangka panjang, yang secara pedagogik mencerminkan hidden curriculum dari sistem pendidikan berbasis pesantren.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Kawah Ijen (YLBHKI) dan Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (GM FKPPI) PC 1325 Banyuwangi. Kehadiran lintas sektor ini mengafirmasi posisi KH. Achmad Wahyudi sebagai tokoh multidimensional: agamawan, organisatoris, advokat sosial, dan figur pembina masyarakat.
Sekretaris GM FKPPI Banyuwangi, Marselinus Moa Dany, S.Pd., dalam sambutannya menyampaikan:
“Keteladanan beliau telah menjadi cahaya dalam organisasi dan kehidupan pribadi anggota.”
Pernyataan ini menguatkan konsep “figur transformatif” dalam kepemimpinan sosial-keagamaan, yang menggabungkan peran spiritual dengan kapasitas organisasi.
Dalam sesi tausiyah singkat, KH. Wahyudi menjelaskan bahwa peringatan ulang tahun bukanlah ekspresi seremonial semata, melainkan bentuk muhasabah (refleksi diri). Sejak usia 50 tahun, beliau mulai memperingati hari lahir sebagai momentum konsolidasi arah hidup.
“Ulang tahun bukan sekadar ulang angka, tapi momentum untuk meneguhkan arah hidup. Di usia 50, saya memilih untuk kembali ke medan perjuangan—bukan untuk pribadi, tapi untuk generasi.”
Pernyataan tersebut sejalan dengan prinsip filsafat pendidikan Islam, yang memandang usia matang sebagai titik balik menuju “khidmat abadi”—yaitu pengabdian tanpa pamrih kepada ummat dan bangsa.
Lebih jauh, beliau menyampaikan pesan moral universal berbasis hadis:
“Allah SWT tidak melihat jasadmu, tapi hatimu.”
Pesan ini mengandung nilai etika sufistik, yang mengedepankan qalbu (hati) sebagai pusat spiritualitas dan akhlak.
Perayaan ulang tahun KH. Ir. Achmad Wahyudi ke-57 di Pondok Pesantren Adz Dzikra merepresentasikan lebih dari sekadar peristiwa individual. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, kegiatan ini menjadi arena konsolidasi nilai, penguatan identitas santri, serta aktualisasi peran pesantren sebagai institusi kaderisasi kepemimpinan bangsa.
Melalui pendekatan yang menggabungkan nilai-nilai sufistik, moral-spiritual, serta tanggung jawab sosial, KH. Wahyudi berhasil mentransformasikan hari kelahiran menjadi ruang kontemplatif yang menginspirasi berbagai lapisan masyarakat. Keberhasilan beliau menghubungkan jaringan santri hingga mancanegara menandakan bahwa pendidikan pesantren memiliki daya jangkau global yang berakar kuat pada nilai lokal.
Malam itu, di tengah gelap yang penuh simbol dan cahaya hati, generasi muda kembali diingatkan akan pentingnya menghormati guru, menjaga keikhlasan, dan membangun peradaban dari ruang-ruang sederhana—seperti aula pesantren yang menyala oleh cinta dan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar