Pages

7/30/2025

Tour de Ijen dan Sebuah Cara untuk Dilihat Dunia

 Tour de Ijen dan Sebuah Cara untuk Dilihat Dunia

Oleh: Lensa Banyuwangi

Ada banyak cara untuk memperkenalkan kampung halaman kepada dunia. Ada yang menulis puisi dan membacakannya di forum-forum internasional. Ada yang membawa kopi lokal ke festival di Eropa. Ada juga yang diam-diam membangun jalan, menata trotoar, merawat taman, lalu berharap satu-dua orang asing yang kebetulan lewat akan menoleh dan bertanya, “Ada apa di sini?” 


Tapi Banyuwangi memilih yang lebih berani: Tour de Ijen. Setiap tahun, deru sepeda memecah pagi di lereng-lereng gunung. Jalan-jalan yang biasanya dilewati anak sekolah dan penjual gorengan tiba-tiba menjadi panggung bagi pembalap dari berbagai belahan dunia. Kamera televisi melayang-layang di udara, mengintip dari atas drone, menyorot lekuk jalan yang meliuk di antara ladang dan hutan, memperlihatkan betapa hijau tanah ini, betapa biru langitnya, dan betapa segala yang tumbuh di sini seperti tahu caranya membuat orang betah menatap lebih lama.

Tour de Ijen bukan sekadar lomba mengayuh pedal. Bukan hanya soal siapa tercepat menaklukkan tanjakan di kawasan Taman Nasional Alas Purwo atau siapa yang paling lihai menjaga stamina ketika angin laut menampar pipi di sepanjang Pantai Boom. Ini adalah panggung. Panggung tempat Banyuwangi tampil dengan caranya sendiri, dengan keanggunan yang tak dibuat-buat, dengan senyum anak-anak di pinggir jalan yang melambai pada pembalap yang tak mereka kenal, dengan aroma kopi arabika yang dibawa angin dari lereng Gunung Raung.

Yang tak kalah penting: Tour de Ijen adalah cara pemerintah berpikir panjang. Mungkin ada yang sinis, seperti biasa. Ada yang bilang: "Buat apa lomba balap sepeda, jalanan saja masih banyak berlubang." Ada juga yang mencibir: "Ah, itu hanya untuk pamer, bukan untuk rakyat." Tapi mereka lupa, bahwa kadang jalan yang berlubang itu bisa ditambal berkat tamu-tamu yang datang membawa devisa. Bahwa para penjual es kelapa muda di pinggir jalan bisa mengganti sepeda butut anaknya karena habis dagang saat Tour de Ijen berlangsung. Bahwa anak-anak muda belajar menari gandrung bukan karena tugas sekolah, tetapi karena ingin tampil menyambut para pembalap dari Portugal, Jepang, atau Afrika Selatan. Bahwa desa-desa yang dulu sepi kini sibuk menyiapkan homestay karena orang mulai mencari tempat tinggal yang hangat dan bersahabat, bukan hotel dingin bertarif mahal.

Pemerintah tak sedang bermain-main. Ini bukan proyek coba-coba. Ini cara berpikir panjang: bahwa pembangunan tak selalu berupa gedung menjulang, tetapi juga membangun rasa percaya diri rakyatnya. Tour de Ijen adalah undangan terbuka kepada dunia: datanglah, lihat kami, lihat tanah kami, lihat bagaimana kami menyambut tamu, lihat betapa kami punya sesuatu yang bisa dibanggakan.

Dan rakyat Banyuwangi menjawab undangan itu dengan cara mereka sendiri. Mereka mulai menata halaman rumah, melatih anak-anak menari, menyulam kembali cerita-cerita leluhur agar bisa dibagikan kepada para tamu yang haus kisah. Mereka menggali kembali tradisi, bukan untuk dipajang seperti barang antik, tetapi untuk dihidupkan kembali, untuk ditawarkan sebagai pengalaman: ini kami, ini Banyuwangi.

Ekonomi pun ikut bergerak. Dari penjaja dawet di pinggir jalan, tukang ojek wisata, perajin batik using, hingga pemandu lokal yang mulai belajar Bahasa Inggris lewat aplikasi di ponsel. Mereka semua tersentuh oleh getaran yang dibawa Tour de Ijen. Karena pada akhirnya, kemajuan itu bukan hanya soal angka-angka di papan statistik. Tapi tentang siapa yang makan hari ini karena dagangannya laku. Tentang siapa yang tak lagi malu memperkenalkan desanya karena sudah tampil di layar kaca. Tentang siapa yang akhirnya percaya, bahwa tempatnya tinggal itu penting. Bahwa tanahnya tidak kalah cantik dari Swiss atau Selandia Baru.

Pembangunan memang tidak mudah. Tapi jika dikerjakan dengan hati dan dipandu visi yang jernih, hasilnya tak akan mengecewakan.

Tour de Ijen adalah bukti bahwa Banyuwangi tak sekadar ingin dikenal, tapi ingin diakui. Bukan karena bangunan pencakar langit atau mal megah, tetapi karena alamnya yang jujur, rakyatnya yang ramah, budayanya yang hidup, dan kesungguhannya merawat yang diwariskan leluhur.

Siapa pun yang datang ke Banyuwangi lewat Tour de Ijen akan pulang dengan cerita. Tentang tanjakan yang melelahkan, ya. Tapi juga tentang semangkuk rujak soto di pinggir jalan. Tentang seorang nenek yang menjual tapai sambil mengajak ngobrol dengan logat Osing yang tak bisa mereka pahami, tapi senyumnya menulari siapa saja. Tentang anak-anak yang berlari mengejar iring-iringan sepeda, lalu pulang membawa cita-cita: suatu hari nanti, aku ingin jadi pembalap. Atau pemandu wisata. Atau kepala desa yang bisa mempercantik desanya agar dilirik dunia.

Inilah Banyuwangi. Inilah Tour de Ijen. Sebuah mimpi yang digayuh perlahan, dengan cara yang kadang tak dimengerti orang-orang yang terburu-buru. Tapi rakyat Banyuwangi tahu: tak ada jalan pintas untuk menjadi tuan rumah yang baik. Harus ada persiapan. Harus ada dedikasi. Harus ada kerendahan hati untuk belajar dan kesungguhan untuk bangkit. Dan Banyuwangi sedang berjalan ke sana. Dengan sepeda. Dengan doa. Dengan harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar