Pages

7/20/2025

Seorang yang Pernah Membakar Lilin-Lilin Kami

 Seorang yang Pernah Membakar Lilin-Lilin Kami

Pagi itu datang dengan biasa saja. Angin berhembus lembut dari arah selatan, melewati genting-genting tua yang sudah sering mendengar nama disebut tanpa harus memanggil. Kopi di gelas masih beruap, dan orang-orang sibuk membetulkan kerah baju batik mereka. Tapi kami tahu, pagi itu akan berisi sesuatu yang tak akan biasa. Karena yang datang bukan orang sembarangan. Yang datang adalah orang yang pernah menyalakan nyala kecil di kepala kami—dan membiarkannya tumbuh menjadi lentera. 


Namanya Dr. Moh. Amak Burhanuddin. Kini beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam di Kanwil Kemenag Jawa Timur. Tapi bagi kami, beliau bukan hanya itu. Ia adalah api pertama yang menyalakan kayu-kayu basah kami, saat literasi di tempat ini hanyalah angan di jendela, kabur dan sering kabur pula.

Beliau pernah menjadi Kepala Kemenag Kabupaten Banyuwangi. Saat itu, literasi belum menjadi kata yang sering dilafalkan. Menulis berita kegiatan hanyalah hobi anak-anak jurnalistik sekolah, bukan kerja para guru atau pejabat di KUA. Tapi entah bagaimana, kehadiran beliau mengubah banyak hal.

Pagi itu, dalam kesederhanaan yang senyap, saya memberanikan diri untuk memberikan tiga buku. Dua karya saya sendiri, dan satu karya bersama para guru Madrasah Ibtidaiyah Banyuwangi. Rasanya seperti menyerahkan bunga dari pekarangan sendiri kepada orang yang dahulu menanam benihnya. Aneh. Ada gugup yang tak perlu, tapi ada juga rasa haru yang tak bisa dielakkan.

Saya selalu percaya, bahwa memberi buku kepada orang yang pernah menyalakan semangat kita, adalah cara terbaik untuk berkata: “Terima kasih telah membuat kami percaya bahwa menulis bukan sekadar kegiatan, tapi jalan sunyi menuju makna.”

Karena sejak itu, kami berubah. Kami tak lagi menyimpan kegiatan dalam laci, atau hanya di folder laptop yang jarang dibuka. Kami menulisnya. Mewartakannya. Membagikannya ke publik. Supaya orang lain tahu, bahwa di madrasah-madrasah ini, di kantor-kantor kecil ini, ada kegiatan yang berarti. Ada dedikasi. Ada kehidupan yang pantas disiarkan.

Menulis berita, bagi kami, bukan lagi urusan administrasi. Ia telah menjelma menjadi kesaksian. Karena berita tidak bisa dihapus. Ia lahir dari waktu dan akan terus membawa waktu di tubuhnya. Tak seperti foto yang sering berdusta tentang kapan ia diambil. Berita mencatat tanggal, jam, bahkan detik. Dan dari sana, kehadiran kita akan selalu bisa ditemukan kembali.

Beliau, Dr. Amak Burhanuddin, bukan hanya memberi motivasi. Ia memberi arah. Memberi contoh bahwa di tengah kesibukan sebagai kepala kantor, ia bisa menyelesaikan studi doktoralnya. Dan lucunya, penerus beliau juga menyelesaikan program doktor saat bertugas di Banyuwangi. Seolah ada sesuatu di kota ini yang membuat orang ingin belajar lebih dalam, menulis lebih jauh, dan mengakar lebih kuat.

Saya sering berpikir, mungkin tanah ini mengandung sesuatu yang menyuburkan ilmu. Atau mungkin, udara di sini membawa bisik-bisik dari masa lalu. Dari zaman di mana sastra bukan sekadar milik penyair. Karena sejarah mencatat, di tahun 60-an, syair legendaris Sholawat Badar ditulis di kota ini oleh K.H. Ali Manshur, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kemenag Banyuwangi.

Jadi kalau hari ini para kepala kantor, para kepala seksi, para guru madrasah di Banyuwangi menulis puisi, merangkai berita, menyusun buku antologi, atau sekadar menorehkan kisah kegiatan ke dalam catatan publik, itu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Kita hanya sedang membuka kembali jejak yang sudah lebih dulu ditorehkan oleh mereka yang mendahului.

Sastra, di lingkungan Kementerian Agama, bukan barang baru. Ia telah lama ada. Mungkin tersembunyi di balik rapat-rapat serius, mungkin tertidur di laci-laci penuh berkas. Tapi ia selalu menunggu untuk dibangunkan. Dan ketika seseorang datang, mengetuk, dan berkata: “Ayo kita mulai menulis,” maka pintu-pintu itu pun terbuka.

Saya selalu suka membayangkan bahwa buku-buku yang hari ini saya serahkan kepada beliau, akan beliau letakkan di rak kecil di rumahnya. Atau mungkin akan beliau baca diam-diam di sela perjalanan dinasnya. Dan mungkin, suatu saat nanti, ia akan tersenyum sendiri lalu berkata, “Mereka tetap menulis. Api itu tak padam.”

Dan saya akan terus menulis. Karena saya tahu, setiap kalimat yang terbit adalah bentuk penghormatan kepada orang-orang yang pernah percaya pada saya, bahkan sebelum saya sendiri percaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar