Pages

5/10/2025

Pohon yang Tak Pernah Berbuah

 *Pohon yang Tak Pernah Berbuah*

Saya mengenalnya di teras masjid, puluhan tahun lalu. Seorang lelaki tua, wajahnya bersih, matanya teduh, suaranya berat tapi lembut. Ia selalu datang lebih awal dari azan, dan pulang paling akhir setelah lampu masjid padam. Konon, malamnya tak pernah tidur sebelum tahajud. Siangnya berpuasa sunah, mulutnya tak pernah lepas dari dzikir. Saya sempat berpikir: inilah manusia langit.

Tapi suatu hari, ia berkata:

“Saya sudah tak percaya lagi pada manusia. Mereka semua munafik.” 


Sejak itu pintu rumahnya tertutup rapat. Ia tak lagi menegur tetangga. Tak datang ke pengajian. Tak pernah terlihat di acara kematian, walau jaraknya hanya sepelemparan batu. Daun pintu rumahnya berganti peran menjadi tembok. Daun pintu hatinya pun begitu.

Saya termenung lama. Di antara sajadah dan sendal jepit yang tertinggal di serambi masjid, saya merenung: siapa sebenarnya yang munafik?

Saya takut. Takut jika rajin beribadah ternyata tak cukup untuk menjadi manusia. Saya takut jika kesalehan pribadi menjadi alasan untuk bersikap jumawa. Dan yang lebih saya takutkan, adalah jika seseorang mengira sudah sangat dekat dengan Tuhan, lalu menjauh dari manusia.

Ada yang keliru jika begitu.

Saya menulis ini bukan untuk menyoal siapa yang lebih benar. Tapi saya ingin kita berhenti sejenak, dan menengok kebun yang kita tanami selama ini. Apakah pohon-pohon itu berbuah?

Ada pohon yang batangnya besar, daunnya rimbun, akarnya menembus tanah. Tapi tak pernah berbuah. Ia gagah, ia hijau, tapi tak pernah memberi. Orang lalu-lalang hanya bisa memandang, tanpa bisa memetik. Anak-anak yang ingin berteduh pun takut, karena rantingnya tajam dan suaranya kering.

Pohon seperti itu, lama-lama akan ditebang. Karena menyita lahan dan menebar bayang-bayang tanpa makna.

Saya takut menjadi pohon seperti itu.

Saya ingat, di masa kecil saya, di dusun sepi yang dikelilingi bukit, ada seorang lelaki tua yang tak rajin ke masjid. Tapi tiap kali panen, ia sisihkan hasil kebunnya untuk tetangga. Ia tak fasih membaca Al-Qur’an, tapi mulutnya tak pernah membentak. Jika ada yang sakit, ia orang pertama yang datang menjenguk. Jika ada yang kemalingan, ia orang pertama yang bangun malam mencari pelakunya.

Ia tak pernah naik haji. Tapi hatinya seolah selalu thawaf di sekeliling sesama.

Saya lalu sadar. Islam bukan hanya perkara rukuk dan sujud. Tapi tentang bagaimana menyapa, bagaimana mendengar, bagaimana mengulurkan tangan. Saya tahu, shalat adalah tiang agama. Tapi tiang tak berarti jika tak menyangga atap kebaikan.

Saya pernah menulis di Disway: iman tanpa amal itu seperti surat cinta tanpa alamat. Tak pernah sampai. Tak pernah dibaca. Dan akhirnya, tak pernah dimengerti.

Saya semakin tua. Dan semakin sadar bahwa agama itu bukan hanya hubungan vertikal. Tapi juga horizontal. Tidak cukup langit, jika tanah yang kita injak tak kita jaga.

Islam adalah mata uang. Satu sisi bertuliskan “Tuhan”, sisi lain bertuliskan “Manusia”. Tanpa keduanya, uang itu tak berlaku.

Rasulullah dikenal bukan karena shalat malamnya saja, tapi karena akhlaknya. Ia tak hanya mengajarkan cara berdoa, tapi juga cara bertetangga. Ia tak hanya menyampaikan wahyu, tapi juga membalut luka orang-orang di sekitarnya. Ia tidak hanya mengajak ke surga, tapi menciptakan surga kecil di bumi lewat kasih sayangnya.

Zaman sekarang lebih sulit. Saat jempol bisa melukai lebih tajam dari pedang. Saat doa dibarengi ujaran kebencian. Saat orang merasa paling suci hanya karena banyak followers. Maka akhlak bukan hanya perlu, tapi mendesak.

Saya pernah bertemu sopir taksi online. Ia berkata:

“Saya nggak terlalu paham agama, Pak. Tapi saya berusaha bikin penumpang saya senyum. Kalau mereka bahagia turun dari mobil, saya merasa sudah ibadah.”

Saya terdiam. Ia telah mengubah jok belakang mobilnya menjadi sajadah. Setiap sabar adalah rakaat. Setiap senyum adalah salam. Setiap permakluman atas kemacetan adalah dzikir yang tak terdengar tapi menyentuh.

Kadang saya malu. Kita—yang merasa tahu banyak—justru sering lupa menghidupkan yang paling sederhana.

Saya teringat Sayyidina Umar. Saat ada orang melaporkan bahwa seseorang rajin ke masjid, tapi curang dalam berdagang, Umar berkata:

“Bukan itu orang baik. Orang baik adalah yang ketika kau bertransaksi dengannya, engkau merasa aman.”

Betapa jelasnya garis antara ritual dan moral.

Saya takut jika kita hanya mendirikan sajadah, tapi membiarkan manusia di sekeliling kita terluka. Saya takut jika kita membangun menara dzikir, tapi di sekelilingnya anak-anak lapar dan tak terperhatikan. Saya takut, jika kita merasa sudah sampai kepada Tuhan, tapi meninggalkan jejak darah di jalan manusia.

Air mata dan cinta—dua jalur tercepat menuju Tuhan.

Air mata dari sujud yang dalam.

Dan cinta yang mengalir kepada yang tertindas.

Jika ibadah kita tak membuat kita lembut, ada yang salah dalam niat. Jika dzikir kita tak membuat kita tenang, ada yang keliru dalam hati. Jika puasa kita tak mengurangi amarah, mungkin kita hanya lapar, bukan sedang menyucikan diri.

Pohon itu...

Semoga tidak kita warisi.

Karena di bawahnya, banyak yang menunggu.

Anak-anak, janda tua, tetangga miskin, dan mereka yang patah semangat.

Mereka butuh buah.

Bukan hanya bayang-bayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar